Berada di tempat yang tak kau
inginkan bukanlah hal yang buruk. Ya, aku hanya perlu percaya itu dan semua akan baik-baik
saja. Baik-baik saja seperti saat matahari terbit dari timur-pertanda ini belum
berakhir-.
Kalau tidak demi mulyanya patuhi
perintah orang tua, Aku benar-benar tak mau berada disini. Tempat yang jauh
dari ibuku yang penyayang meski kadang cerewetnya minta ampun ,. Dari Bapak
yang humoris tapi disiplin. Dan dari jerapah. Hehehe:D jangan salah paham dulu,
Jerapah itu panggilan buat adikku. Tingginya 162 cm tapi siapa sangka umurnya
masih 12 tahun. Aku rindu kalian.
Semuanya berawal dari kedatangan
Paman Yos ke rumah kami karena urusan pekerjaan. Daripada menginap di hotel,
ayah meminta kakaknya itu untuk menginap di rumah kami saja, sekalian
silaturrahmi. Seminggu di rumah kami, beliau mungkin telah melihat potensiku
dan akhirnya Paman Yos memutuskan membiyayai sekolahku, beliau sendiri yang
memilihkan sekolah untukku dan sayangnya Paman memilihkanku sekolah di Luar
kota.
“Sayang sekali Rahma jika anak sepertimu hanya sekolah di
SMA terfavorit se-Kota, harusnya kamu masuk di SMA terfavorit se- Indonesia
dong!”, Kata paman.
---
Seharusnya tempat ini bisa buatku bahagia, bagaimana tidak?
Di tempat ini aku tak perlu menegeluarkan receh untuk beli apapun kebutuhanku.
Aku hanya perlu terus menjadi murid berpretasi disini dan mematuhi peraturan
asrama. Semua telah terpenuhi, kecuali jiwaku.
Sejak hari pertama masuk sekolah
ini, aku merasa semuanya aneh. Mulai dari muridnya yang bergaya ala super
model, wajah horor milik kebanyakan guru, dan tempat tertentu yang sepi alias
jarang ada siswa. Tapi,Sam. Diantara cowok-cowok dengan wangi yang membuat cewek-cewek lengket dan penampilan
yang selalu modis. Badan Sam kurus tinggi dengan kacamatanya yang
sampai-sampai sepert tebal pantat botol. Tapi jangan bayangkan dia seperti anak
culun. Sorot matanya tajam.
Tidak kusangka, Sam si Aneh ini ternyata anak jenius. Tak
ada nilai pelajarannya berangka 9. Semuanya 10. Perfect! Aku hanya menggeleng-nggelengkan kepala melihat seluruh
nilai sempurnanya di papan nilai. Belum lagi tujuh piala yang berhasil
diborongnya sebulan ini. Pernah sekali aku melihatnya tersenyum ketika dia
bersama Bu Darma. Ia terlihat manis sekali. Saat itulah rasanya waktu berhenti
sesaat, hatiku tenang ,tapi jantungku terus berdegup kencang.Dag. . .Dig. .
.Dug. . . Perasaan apa ini?
Tiba-tiba, tanganku lemas. Brok!
Buku-buku dalam boponganku jatuh berserakan. Kedua manusia di depanku terkejut
dan menatapku. Sam hanya menatapku aneh, memasukan kedua tangan dalam sakunya,
lalu berlalu meninggalkanku. Aku tak memedulikannya. Segera kupunguti
buku-bukuku. Dengan cekatan, Bu Darma membantuku. Bu Darmalah satu-satunya guru
berwajah ramah di sekolahku. Senyuman manis selalu menghiasi wajahnya. Akupun
tak kalah manis membalas senyumannya dan berterimakasih.Dengan mengumpulkan
segenap keberanianku, kucoba menanyakan sesuatu tentang Sam. Bu Darma hanya
tertawa terbahak-bahak. Ah! Ini benar-benar tidak lucu pikirku. Aku malu.
Pipiku memerah. Apakah aku salah bertanya?
---
Hari ini aku datang ke sekolah
paling awal. Melancarkan misiku duduk bersebelahan dengan bangku Sam.Ya!
Mengikuti saran Bu Darma. Menurutnya, Sam sebenarnya anak yang manis dan
penolong. Siapa tahu dengan dekat dengannya, nilai-nilaiku yang pahit bisa
berubah menjadi manis.
Bel masuk berdentang berkali-kali.
Sam duduk di sebelah bangkuku, sesuai rencanaku. Ku sapa dia dengan senyuman.
Tak ada respon. Dia cuek dan malah sibuk dengan jam tangan hasil karyanya.
Kucoba lirik jam tangannya. Jam
tangan yang penuh tombol. Baru kali ini aku melihat jam tangan aneh. Seaneh
penemunya. Melihatku, Sam buru-buru menyambunyikan tangan tempat melingkarnya
jam aneh itu. Aku segera kembali ke posisi awal. Huh! Menyebalkan! Kini aku tak
yakin rencanaku akan berhasil.
Tiba waktu istirahat. Aku masih
penasaran semua tantang Sam. Dia terburu keluar kelas. Aku harus segera
membuntutinya. Tiba di taman belakang, Sam menghilang. Aku terus mengitari
taman sepi itu, berharap Sam berada dibalik semak-semak tebal.
“He! Kamu membuntuti aku ya!”,
Hardik suara dari atas. Aku terkaget-kaget dan mendongak ke atas. Tampak Sam
sedang duduk santai di atas pohon di kelilingi sarang burung. Aku hanya
melongo. Bepikir apa yang sedang dilakukannya di atas sana.
“Hem... Malah melongo!”,tambahnya dengan
tersenyum kecut. Dia mencoba menuruni pohon dengan sarang burung di tangan
kirinya. Sarang burung itu kini ia letakan di atas semak-semak tebal.
“Aku disini karena aku percaya
tempat ini mengerti perasaanku. Bahkan burung-burung kecil ini. Ketika aku
kemari, burung-burung kecil ini yang selalu menghiburku. Mereka
bersahut-sahutan bernyanyi untuku.”,aku mencoba menjadi pendengar yang baik.
Tanpa kuminta lagi ia telah menceritakan semua tentangnya kepadaku.
Benar-benar diluar dugaanku. Dia
merawat burung-burung kecil ini dengan telaten. Layaknya sorang induk merawat
anak-anaknya.”Kasihan burung ini, dia ditinggal orang tuanya mencari makan.
Maka dari itu, aku mencoba menghiburnya dengan datang kemari sebagai sesama
anak yang sedang kesepian ditinggal induknya.”
Aku bingung harus merespon apa? Oh
Tuhan. . . Aku baru tahu bahwa Sam adalah anak yang kesepian.
“Kamu tahu? Ini adalah burung
gereja. Burung ini juga bisa kok makan beras……”
Sam terus mengoceh, aku hanya
memandanginya. Namun pikiranku bukan tentang apa yang diomelkan Sam. Tapi
tentang penderitaan yang Sam alami.
Sejak kejadian di taman itu, aku
menjadi dekat dengan Sam. Karena pangajaranya juga, kini nilaiku terus
meningkat. Pelajaran favorit yang diajarkannya padaku adalah fisika. Ia
menjelasakan kepadaku dengan energi yang meledak-ledak. Karena memang ia ahli
bidang fisika. Terimakasih Sam!
Ia juga menceritakan fungsi tombol-tombol pada jam tangan
yang sempat kukatai “aneh”. Ternyata jam tangannya mempunyai banyak fungsi.
Diantaranya adalah mendeteksi akan datangnya hujan bahkan merekam suara.
Sebenarnya, ia ingin membuat jam tangan yang bisa mengembalikan dia ke masa
lalu yang diinginkan. Namun, nampaknya ia belum juga berhasil.
Sam pernah bercerita, ia ingin
sekali kembali ke masa lalunya bersama kakeknya. Merawat bunga-bunga, memberi
makan kelinci peliharaannya, bermain tembak-tembakan. ”Mungkin bagimu itu
moment-moment yang konyol dan tidak ada artinya. Namun bagiku itu semua sangat
berarti bagiku. Namun kini kakekku sedang tersenyum bahagia di surga. Meskipun
aku punya orang tua yang kini menetap di
prancis, namun bagiku kakekkulah orang tuaku.” Aku masih teringat kata-katanya.
Langsung menusuk jantungku.
Sam, aku selalu berharap suatu hari nanti kau bisa hidup
bahagia. Aku tak ingin senyuman kesedihanmu kembali terbit di wajahmu. Kamu
adalah orang tegar yang pernah aku temui Sam. Kamu tak pernah menangis, kamu
selalu menghadapi kesedihanmu dengan senyuman. Aku percaya Tuhan punya rencana
indah yang DIA simpan untuk kamu Sam.
Pagi itu ia memberi makan anak burung gereja yang kini
tumbuh dua kali lebih besar dari pertama kali aku melihatnya. Beras dalam
tadahan tangannya kini berubah warna menjadi merah. Sam terus tersenyum melihat
anak-anak burung gereja yang terbang indah di angkasa. Sementara ia tak sadar
darah segar mengalir dari hidungnya.
Aku memberitahu Sam dia sedang mimisan. Kusodorkan tissue dari sakuku. Sam tertawa ,”Sudah
Faras, kamu tidak perlu khawatir berlebihan gitu dong! Ini kan Cuma mimisan
biasa.”. Aku tetap tidak percaya dengan omongan Sam, wajahnya lemas tak
bertenaga. Matanya sayu, ia pusing dan mulai memegang kepalanya. Firasatku
buruk.
Brok! Manusia kokoh itu kini jatuh tersungkur tak berdaya di
tanah. Bunga-bunga seperti layu, daun-daun berjatuhan, dan langit meneteskan
air matanya. Aku berteriak histeris meminta tolong. Badan Sam
kugoncang-goncangkan berharap dia akan terbangun. Air mata ini tak kuasa
kubendung. Aku menangis terisak-isak. Tak lama datang bantuan dari teman-teman.
---
Kupandangi dia dibalik kaca ruang ICU.
Sam terlihat lemah tak berdaya dengan infus di pergelangan tanganya dan alat
bantu pernafasan udara. Sam, penderitaan apa lagi yang menimpa manusia tak
berdosa seperti dirimu? Ya Tuhan, jika kau perkenankan.
Gantikan aku yang berbaring diatas sana. Tak tega kumelihat sahabatku yang
hidupnya penuh penderitaan kini sedang kesakitan.
Selang satu minggu Sam masih di rawat di rumah sakit. Ia
masih belum tersadar dari komanya. Kini aku yang menggantikan Sam merawat
burung gereja yang sedih ditinggal sahabatnya.
Tiba-tiba, Bu Darma menghampiriku menyampaikan berita
bahagia.”Sam sudah sadar!Dia ingin bertemu kamu.”. Tanpa basa-basi lagi Bu
Darma menggandengku menuju rumah sakit. Terimakasih Tuhan! Telah engkau sadarkan
sahabatku dari komanya.
Tiba di rumah sakit, kulihat Sam masih memakai alat bantu
pernafasanya. Aku segera berlari dengan berurai air mata bahagia mendatanginya.
Senyuman manis itu kembali terbit di wajahnya. Ku ungkapkan segala rasa
bahagiaku melihatnya kembali membuka mata. Sam melebarkan senyumnya
.”Fa..ras..ka..ka..mu..ja..ngan..ce..pat..menye..rah..ya”,katanya sambil menyodorkan surat untuku. Aku
mengiyakan dan berjanji tidak akan cepat menyerah.
Tiiiiiiiittt…..
Tiba-tiba suara
pendeteksi detak jantungnya berbunyi horor. Darahku memanas, tak percaya Dia
kini pergi meninggalkan aku. Aku menangis terisak –isak, mataku
berkunang-kunang. Aku lemas dan tak sadarkan diri.
---
Kuperhatikan seluruh isi ruangan ini. Tampak seorang
berwajah keibuan sedang mengelus dahiku. Dia tersenyum melihatku terbangun dari
tidurku. Dia, Bu Darma! Ia menyodorkan surat yang pernah disampaikan oleh
sahabatku. Aku baru teringat, surat itu belum kubaca. Ku buka perlahan-lahan
surat dari Sam.
Hei faras!kamu sedang apa sekarang?
Hei!jangan lupa kasih makan burung gerejanya ya!
Kamu tahu
tidak? Aku kemarin bermimpi bertemu kakekku. Aku bahagiaaa sekali!
Kini kebahagiaanku telah datang. Terimakasih ya telah
menjadi sahabatku yang selalu setia!
Jangan pernah menyerah ya!Hidup ini indah bila senyuman
selalu menghiasi wajahmu.
Semangat ya Faras!Aku ingin melihatmu nanti menjadi wanita
luar biasa…
Kelak..dari surga..
Kututup surat Sam. Samudra yang begitu luas, yang mampu menerima segala
derita.
0 komentar:
Posting Komentar