Mohammad Muhson Al Farizi
Hai pejuang mimpi. Izinkan saya
membawakan sepotong kisah yang membawa saya menuju bangku perkuliahan melalui
bantuan Bidikmisi. Sekaligus kembali mengingat dan mengingatkan sayasendiri
akan tujuan awal yang sempat tertutup oleh kesibukan dan keluh kesah di tengah
perkuliahan.
Tahun 2018. Awal saya mengenal
lebih jauh tentang Bidikmisi. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat
di mana teman-teman saya yang lainnya sibuk-sibuknya dengan organisasi dan
lomba-lomba, saya justru berburu informasi sebanyak-banyaknya tentang beasiswa.
Bukan hanya Bidikmisi tentunya. Berbekal laptop pinjaman milik salah seorang
teman sekelas dan wifi sekolah, saya mengumpulkan data beasiswa
selengkap-lengkapnya mulai dari berkas yang harus disiapkan, konsekuensi jika
mengambil beasiswa tersebut, hingga fasilitas apa saja yang diperoleh. Tidak
kurang dari 10 jenis beasiswa (mungkin lebih) saya korek-korek dan saya
identifikasi mana yang lebih cocok dengan kondisi saya.
Akhirnya saya sampai pada
kesimpulan bahwa Bidikmisilah yang paling mudah dan paling cocok bagi saya.
Saat itu juga mulai saya bangun tekad saya bahwa saya tidak akan kuliah jika
tanpa Bidikmisi. “Bidikmisi, atau tidak sama sekali,” ungkapku saat itu.
Saya pun mulai mengumpulkan berkas apa saja yang diperlukan untuk pendaftaran
bidikmisi. Ya meskipun saat itu saya masih kelas 2 SMA. Semua berkas yang
diperlukan saya simpan di linimasafacebook tentunya dengan kondisi diprivat.
Saya bersikeras tidak akan kuliah
jika tidak mendapatkan Bidikmisi karena beberapa pertimbangan. Salah satunya
urusan ekonomi. Toh menurut saya sukses tidak harus kuliah. Ada seribu satu
jalan menuju kesuksesan. Jadi daripada misalnya saya tidak mendapatkan
Bidikmisi, lebih baik saya tidak kuliah. Karenasaya benar-benar sudah
menghitung detail kebutuhan harian saat kuliah di beberapa kota dengan uang
saku yang didapat dari Bidikmisi. Lagi-lagi semenjak saya masih kelas 2 SMA.
Mulai dari kemungkinan kos atau tempat tinggal paling murah hingga harga makan
paling murah yang akan saya temui jika berkuliah di tempat tersebut. Setidaknya
ada tiga pilihan saat itu yang memungkinkan. Surabaya, Yogyakarta, dan
Surakarta. Ya walaupun akhirnya saya tidak berkuliah di salah satu dari tiga
tempat tersebut.
*****
Pendaftaran bidikmisi pun tiba. Saya
memulai proses pendaftaran bahkan sebelum disosialisasikan oleh sekolah. Surat,
foto, data, dan semua berkas yang dibutuhkan satu persatu saya unggah pada
laman Bidikmisi. Pendaftaran berjalan tanpa ada kendala yang berarti. Namun justru
rintangannya ada saat pendaftaran dan proses seleksi masuk perguruan tingginya.
Mulai dari salah input nilai rapor yang berimbas tidak lolos SNMPTN, terlalu
memikirkan pilihan jurusan yang justru menyita waktu belajar dan akhirnya
menyebabkan saya ditolak di dua jurusan yang saya pilih saat SBMPTN, hingga seleksi
jalur bidikmisi di Telkom University yang juga gagal.
Momen-momen kegagalan ini hampir
saja membuat saya putus asa. Hingga pilihan terakhir hanya tersisa jalur
mandiri. Parahnya lagi pendaftaran bidikmisi untuk mandiri yang masih buka saat
itu tinggal UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sebenarnya ada satu lagi yaitu ITB, tapi Bandung salah satu kota yang tidak
saya masukkan dalam list kota yang memungkinkan untuk saya berkuliah di sana
berdasarkan tingkat harga kebutuhan sehari-harinya.
Saat itu, UINSA dan UINMA memiliki
sistem penerimaan bidikmisi yang berbeda. Dengan berbagai pertimbangan dan
diskusi bersama orangtua, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar di UINMA. Untuk
pendaftaran jalur mandiri seluruh pesertanya baik pendaftar Bidikmisi maupun
non-bidikmisi dikenakan biaya 300.000 rupiah. Saya mendaftar di hari-hari
terakhir pendaftaran. Lebih tepatnya H-2 penutupan.
Masalah kembali muncul. Orangtua
saya waktu itu sama sekali tidak memegang uang. Tapi bukannya melarang saya
untuk mendaftar, orangtua saya justru menyuruh saya untuk segera mengurus
berkas yang belum terpenuhi karena Bidikmisi di UIN sedikit berbeda dengan
Bidikmisi di PTN di bawah naungan KEMDIKBUD. Saya pun berangkat menuju sekolah
yang berjarak kurang lebih 25 km dari rumah saya.
Matahari telah melewati titik tertingginya.
Berkas-berkas pendaftaran pun sudah terkumpul semuanya. Tinggal menunggu uang
untuk pendaftaran. Di sela-sela saya melamun, tiba-tiba terdengar bunyi dari
telepon genggam saya. Ada panggilan masuk. Tertulis di sana “ibu”. Saya
buru-buru mengangkatnya. Ibu memberitahu saya bahwa uang bantuan dari
pemerintah baru saja cair. Betapa senangnya saya saat itu. Uang itu cair di
saat yang sangat tepat. Akhirnya uang tersebut saya gunakan untuk mendaftar
jalur mandiri UINMA.
Tiba saatnya hari pengumuman
kelulusan. Aku dan kakakku tiba-tiba terbangun pada pukul tiga malam. Kami
sibuk membuka berkas pdf yang dikirim oleh teman kakakku dan mulai mengetikkan
nama saya di kolom search. Baru tiga huruf saya ketikkan sudah muncul nama saya
di sana. Ya saya akhirnya dinyatakan lolos di jalur mandiri Bidikmisi UINMA
setelah berbagai kegagalan yang saya terima.
0 komentar:
Posting Komentar